Minggu, 06 Juli 2008

Yahudi

Sungguh sangat memprihatinkan, banyak di antara kaum muslimin sering tidak sadar dan lepas kontrol ketika berbicara. Tidak hanya terjadi pada orang awam, bisa kita katakan juga terjadi pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang merasa memiliki banyak tsaqafah islamiyah.

Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka." (HR. Al Bukhari 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم

"Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah." (QS. An-Nur: 15)

Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah yang berjudul "Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel".

Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar penamaan ini.

Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim 'alaihis salam yaitu Nabi Ya'qub 'alaihis salam. Allah ta'ala berfirman:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ

"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan." (QS. Ali Imran: 93)

Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya'qub 'alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu 'anhu: "Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: "Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya'qub?" Mereka menjawab: "Ya, betul." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ya Allah, saksikanlah." (HR. Daud At-Thayalisy 2846)

Kata "Israil" merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya 'abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya 'Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)

Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya'qub adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta'ala. Allah banyak memujinya di berbagai ayat al Qur'an. Jika kita mengetahui hal ini, maka dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan kebencian yang memuncak; Biadab Israil... Israil bangsat... Keparat Israil... Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil membantai kaum muslimin... Agresi militer Israil ke Palestina... Israil penjajah dunia.... Dan seterusnya... namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan tidak merasa bersalah.

Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya'qub 'alaihis salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya'qub 'alaihis salam? mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini akan mendatangkan murka Allah - wal 'iyaadzu billaah - karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya'qub 'alaihis salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya'qub 'alaihis salam tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka berfikir, apakah Nabi Israil 'alaihis salam ridha andaikan beliau masih hidup?!

Allah ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

"Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)

Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang mukmin biasa.

Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil 'alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur'an.

Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan Nabi Israil 'alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang kafir. Allah ta'ala berfirman:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS. Ali Imran: 67)

إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين

"Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman." (QS. Ali Imran: 68)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai oleh Allah ta'ala.

* * *

"Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya'qub 'alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud adalah yahudi..."

Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid'ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid'ahannya, namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid'ah tingkatannya lebih besar dari melakukan dosa besar.

Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; "terlaknat Mudzammam", "terkutuk Mudzammam", dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah "Mudzammam" bukan "Muhammad", Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد

"Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad." (HR. Ahmad & Al Bukhari)

Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya'qub 'alaihis salam.

Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta'ala. Allah berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu." (QS. Al An'am: 108)

Allah ta'ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau bahkan disyari'atkan - menghina sesembahan orang musyrik - karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta'ala. Dan kita yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta'ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil 'alaihis salam.

* * *

Cuma sebatas istilah, yang pentingkan esensinya... bahkan para ulama' memiliki kaidah "Tidak perlu memperdebatkan istilah."

Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri yahudi dengan Israil merupakan celaan terhadap Nabi Israil 'alaihis salam, baik langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun tidak, semuanya dihitung mencela Nabi Israil 'alaihis salam tanpa terkecuali. Dan kaum muslimin yang sejati selayaknya tidak meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa. Karena dengan meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin nilainya kecil menjadi besar. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa di antara salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.

Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita anggap ini biasa?! Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang, ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)

Untuk kaidah "Tidak perlu memperdebatkan istilah", kita tidak mengingkari keabsahan kaidah ini mengingat ungkapan tersebut merupakan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama'. Akan tetapi maksud kaidah ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Karena kaidah ini berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al Mustashfaa fi Ilmil Ushul.

Istilah Israil untuk negeri yahudi telah menjadi konsensus (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan...

Setiap kaum muslimin selayaknya berusaha menjaga syi'ar-syi'ar islam, misalnya dengan belajar bahasa arab (baik lisan maupun tulisan), menghafalkan Al Qur'an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al Qur'an atau dalam hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi'ar islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu 'anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: "Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian." Beliau juga mengatakan: "Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa arab." Umar radhiyallahu 'anhu membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu 'anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu 'anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi'ar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla' Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al 'Aql)

Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan 'atamah. Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya' dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya' yaitu 'atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu 'anhum dengan menamakan shalat isya' dengan shalat 'atamah. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:

لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها

"Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya', sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan 'atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam." (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)

Al Quthuby mengatakan: "Agar nama shalat isya' tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah 'atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya..." ('Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al 'Aini)

Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syi'ar islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya' tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.

***

Lalu dengan apa kita menamai mereka?! Kita menamai mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur'an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa 'alahis salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi'ar-syi'ar agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq...

Ukhwah Islamiyah

Semua orang yang berakal pasti sepakat bahwa persatuan itu sangat penting dan dibutuhkan oleh umat yang menginginkan kemenengan. Sungguh, syari’at telah memperhatikan hal itu dan bagaimana menjaganya.

Pada akhir-akhir ini, berbagai perselisihan silih berganti. Perselisihan memang sudah kepastian yang akan terjadi pada umat. Tapi, perselisihan yang terjadi sekarang ini sudah melampaui batas sehingga perlu adanya wasiat dan pencerahan terhadap makna persatuan.
Di antara dalil-dalil yang menjelaskan akan pentingnya menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

Nash-Nash dari Al-Qur’an

Sungguh Al-Qur’an telah menjaga persatuan umat. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya Allah Azzawajalla berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali-Imran: 102-103).


“Jikalau Tuhan-mu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhan-mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 118-119).


Maksud dari firman Allah Ta’ala “Untuk Itulah Allah menciptakan mereka” adalah sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Jarir, orang yang mendapatkan rahmat Allah tidak akan berselisih pada perselisihan yang membahayakan (tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dirahmati Allah (tidak akan berselisih), dan kelompok yang tidak dirahmati Allah (akan berselisih). Sehingga, ada di antara mereka yang celaka dan bahagia. (Tafsir Ibnu Jarir, 12/34).

2. Menyatukan Barisan adalah Salah Satu Tujuan Allah Mengutus Para Nabi-Nya


Para nabi a.a. adalah utusan Allah yang menyerukan untuk menyatukan barisan dengan satu kalimat. Imam Baghawi mengatakan, “Allah telah mengutus para nabi untuk menegakkan agama, menyatukan umat, dan meninggalkan perpecahan serta perselisihan.” (Ma’alim At-Tanzil, Ibnu Jarir Ath-Thabari, hal. 4/122).

Sebelumnya, para nabi pun pernah berselisih pendapat, di antaranya Musa a.s. menyelisihi Harun a.s. Dalam firman Allah dijelaskan: “Berkata Musa: ‘Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka Telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka apakah kamu Telah (sengaja) mendurhakai perintahku?’ Harun menjawab: ‘Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.”

Begitu juga perselisihan yang terjadi antara Hidlir a.s. dan Musa a.s., dan antara Sulaiman a.s. dan Daud a.s. Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud, dan kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 78-79).

Bahkan, malaikat pembawa rahmat dan malaikat penyiksa pun pernah berselisih pada seorang lelaki yang mati dan telah membunuh seratus orang. (Lihat Itsarul Haqqi ‘Alal Khalqi, Ibnul Wazir, hal. 119).

Hanya saja, perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak menyebabkan kepada perpecahan dan permusuhan.

3. Nash-Nash dari As-Sunnah


Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menyatukan barisan dan melarang dari perpecahan dan perselisihan.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha terhadap kalian pada tiga hal, dan membenci kalian pada tiga hal. Yaitu, engkau menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya, engkau berpegang teguh pada tali Allah dan jangan kalian berpecah-belah. Dan membenci ucapan katanya, banyak ucapan, dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim [1715]).

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat untuk melaksanakannya dan memerintahkan Bani Isra’il supaya mereka mengerjakannya.” Lalu Nabi saw. bersabda: “Saya perintahkan kepada kalian dengan lima hal yang Allah memerintahkanku dengannya, yaitu untuk mendengar, taat, jihad, hijrah, dan berjama’ah. Karena orang yang menyelisihi jama’ah sejengkal saja, maka dia telah melepas tali Islam dari punggungnya, kecuali bila ia kembai.” (HR Ahmad [16178] dan Tirmidzi [2863]).

Berkata Ibnu Umar r.a., Umar telah berkhutbah seraya berkata, “Wahai manusia, saya beridiri di depan kalian adalah mewakili Rasulullah saw., beliau bersabda: ‘Saya wasiatkan kalian dengan para sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka. Sungguh, setelah mereka akan muncul berbagai kedustaan, hingga ada seorang lelaki yang berjanji tapi tidak menepati janjinya. Ada orang yang menjadi saksi tapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai saksi. Dan, tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah syaitan. Hendaknya kalian berjama’ah dan jangan berpecah-belah. Karena syaitan bersama orang yang sendirian, dan syaitan lebih jauh dari orang yang berdua. Barang siapa yang menginginkan baunya surga, maka hendaklah ia melazimi jama’ah’.” (HR Tirmidzi [2165] dan Ahmad [115]).

4. Sejarah Para Sahabat Nabi


Perbedaan pendapat sering kali terjadi di kalangan para sahabat, tapi hati dan jiwa mereka tetap bersih.

Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar pernah mengutip penjelasan Al-Qurtubi, orang yang memperhatikan dan mengkaji perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar r.a. dan Ali r.a. dengan adil, maka dia akan mengetahui bahwa mereka saling mengakui keutamaannya masing-masing, dan hati mereka tetap terbangun untuk saling menghormati dan mencintai.

Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata, saya pernah mencela Hasan r.a. di depan ‘Aisyah r.a., maka dia berkata, “Jangan kamu mencelanya, karena dia telah mendapatkan bau harum dari Rasulullah saw.” (HR Bukhari [6150]).

Begitu juga dengan Ibnu Abbas r.a., ia pernah memuji Ibnu Zubeir di tengah perselisihan yang terjadi di antara mereka berdua. Ibnu Mulaikah berkata, “Di antara mereka berdua pernah terjadi perselisihan sehingga saya mendatangi Ibnu Abbas dan berkata, ‘Apakah engkau ingin membunuh Ibnu Zubeir dengan melanggar aturan Allah?’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Saya berlindung kepada Allah, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi Ibnu Zubeir dan Bani Umayah untuk berselisih. Dan saya, demi Allah, tidak akan ikut campur.’ Ada orang yang berkata kepadanya, ‘Orang-orang telah membai’at Ibnu Zubeir.’ Lalu beliau berkata, ‘Apakah perkara itu salah? Bukankah ayahnya adalah seorang hawari (pendamping Nabi saw., yang dimaksud adalah Zubeir), sedangkan kakeknya adalah sahabat Rasulullah saw. ketika di Gua Hira? Abu Bakar, ibunya adalah Asma’, bibinya adalah umul mukminin ‘Aisyah; bibinya juga adalah istri Nabi saw., Khadijah; neneknya adalah bibi Nabi saw., Shafiyah; Abdullah bin Zubeir adalah seorang yang baik dalam keislamannya dan pembaca Al-Qur’an’.”

Begitu juga dengan Ibnu Mas’ud r.a., ia sering sekali menyelisihi pendapat Umar bin Khatab r.a. Meski demikian, sungguh hati mereka selalu bersih, tidak ada tempat bagi hawanafsu di hatinya. Perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak mengurangi sedikit pun keadilan mereka, dan tidak mengarah kepada permusuhan.

5. Jama’ah

Di antara nama lain Ahlus Sunnah adalah jama’ah. Mereka sangat bersungguh-sungguh menyerukan kepada persatuan. Bagaimana tidak, mereka adalah jama’ah dan kelompok sawadul a’zham (kelompok mayoritas).

At-Thahawi rhm. mengatakan, “Kami berpendapat bahwa jama’ah adalah kebenaran, sedangkan perpecahan adalah kesesatan dan azab.”

Imam Nawawi mengomentari hadits berikut, “Dan janganlah kalian berpecah belah,” hadits tersebut merupakan perintah untuk melazimi jama’ah kaum muslimin dan saling lemah lembut antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan salah satu kaedah dalam Islam. (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Imam an-Nawawi, hal. 11/12).

Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Kebaikan adalah semua kebaikan yang mengikuti salafus shaleh (orang-orang terdahulu), memperbanyak pengetahuan terhadap hadits Rasulullah saw., mendalaminya, berpegang teguh dengan tali Allah, melazimi jama’ah, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyebabkan kepada perselisihan dan perpecahan. Kecuali, bila perkara tersebut jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan, bila perkara tersebut masih samar, apakah perkataan dan perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya kepada perselisihan atau perpecahan, maka wajib untuk meninggalkannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/505).

6. Maslahat Jama’ah Tidak Sebanding dengan Mafsadat (Kerusakan) dari Perpecahan


Banyak sekali orang yang ingin mencapai suatu maslahat (manfaat) tetapi dengan melaksanakan mafsadah yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Padahal, kemanfaatan dalam berjama’ah itu sama sekali tidak sebanding dengan kerusakan yang menyebabkan kepada perpecahan dan perselisihan.

An-Nu’man bin Basyir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Membicarakan nikmat Allah adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur (ingkar). Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka dia pun tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak. Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Dan, jama’ah adalah barakah sedangkan perpecahan adalah adzab.” (HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh Al-Bani dalam Shahihil Jami’ [3014]).

Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “Wahai manusia, hendaklah kalian taat dan berjama’ah, karena ia adalah jalan yang paling pokok untuk menuju kepada tali Allah yang telah diperintahkan. Dan, sungguh tidak sukanya kalian ketika berada di suatu jama’ah itu lebih baik daripada kalian bersenang-senang dalam perpecahan.” (HR Al-Lalika’i dalam kitab Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah, hal. 158-159 dan Asy-Syari’ah, Al-Ajrawi, hal. 13).

Dalam mengomentari hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Apalagi bila perkara tersebut menimbulkan kejahatan yang begitu panjang dan perpecahan Ahlus Sunnah, maka kerusakan yang timbul pada perpecahan ini berlipat ganda dari kesalahan kecil seseorang dalam masalah furu’ (cabang).”

7. Kebangkitan Islam Membutuhkan Penyatuan Barisan


Kalaulah perkara jama’ah dan penyatuan barisan merupakan perkara yang sangat penting, maka tentunya hal itu sekarang lebih dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam, para ulama, dan para syaikhnya, serta para pemimpin dan pembesarnya sangat disukai oleh musuh-musuh Islam. Dan, hal itu bisa terjadi lantaran mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan di antara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,’ ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat, dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Maidah: 14).

Tatkala orang meninggalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada mereka, pasti akan terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bila suatu kaum sudah berpecah-belah, pasti mereka akan rusak dan hancur; bila berjama’ah, mereka akan mendapatkan kebaikan. Karena, jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab (siksa).” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 3/421).

Sarana Penyatuan Barisan

Di antara sarana untuk menyatukan barisan adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pentingnya penyatuan barisan.

Kaum muslimin harus meyakini pentingnya penyatuan barisan dan menyebarluaskan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu hingga benar-benar mengetahui dan yakin akan hal tersebut.

2. Menguatkan tali hubungan.

Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturrahmi, berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.

Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk disatukan.

3. Menimbang perkataan yang benar.

Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan, kecuali di hatinya ada nifaq dan tidak suka untuk menolong agama Allah. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan beberapa hal berikut.

1. Hendaknya kebenarannya benar-benar jelas dan nyata.

Banyak masalah yang menghalangi tercapainya kesatuan barisan. Contohnya permasalahan-permasalahan ijtihad yang cakupannya sangat luas. Dalam hal ini tidak mungkin bisa disatukan, sehingga tidak seyogyanya satu sama lain saling mengingkarinya, terlebih saling bermusuhan. Atau, dalam hal pelaksanaan jihad, sungguh dalam perkara ini sangat luas sekali pembahasannya. Sehingga, seyogyanya seorang muslim tidak cepat menghukumi orang lain yang belum bisa berjihad sebelum melakukan pembahasan yang mendalam mengenai hal ini.

2. Hendaknya kebenaran tersebut disertai dengan penjelasan dan ilmu.

Imam Bukhari dalam kitab Jami’ush Shahih mengutip perkataan Imam Ali r.a., “Ceritakanlah kepada manusia dengan apa yang bisa mereka mengerti, apakah engkau senang bila dia mendusatakan Allah dan Rasul-Nya?” (HR Bukhari, Kitabu al-Ilmi, no. 124).

‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Tidaklah engkau megatakan suatu perkataan kepada suatu kaum yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka, kecuali akan menimbulkan fitnah pada sebagian mereka.” (HR Muslim dalam muqaddimah shahihnya).

3. Hendaknya menjelaskan kebenaran dengan metode yang sesuai.

Seorang muslim seyogyanya berbuat adil dan menjauhi kezhaliman. Selain itu, ia juga harus paham bahwa tanggung jawabnya dalam menyampaikan kebenaran adalah untuk menyatukan barisan kaum muslimin.

4. Hendaknya dalam menjelaskan kebenaran dilakukan oleh orang yang pantas.

Hendaknya seseorang berdakhwah sesuai dengan kedudukannya masing-masing, seperti seorang pejabat berdakwah di kalangan para pejabat dan lainnya. Sekalipun, hal ini tidak mutlak.

5. Setelah sempurnanya penjelasan kebenaran, hendaknya tidak terburu-buru menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.

Permasalahan yang bertele-tele dan tidak ada gunanya hanya akan membawa kepada perselisihan dan perpecahan umat.

4. Adil dalam menghukumi kesalahan.

Seorang muslim tidak mungkin terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi Muhammad saw., sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’.


Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-tingkat. Seperti halnya dosa, ada dosa-dosa besar dan ada dosa-dosa kecil. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal (yang masih ada kemungkinan shahih, hasan, atau dhaif) atau fatwa para ulama.

Tatkala telah jelas penjelasan akan kesalahan seorang ulama atau da’I, hendaknya ia adil dalam hal itu dengan menjauhi kesalahan tersebut, menjauhi sifat berlebih-lebihan dalam semua hal, dan menjauhi perselisihan dan perpecahan.

5. Setiap orang mempunyai kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Ini adalah inti pembahasan pada bab ini. Seorang mujtahid yang berpegang pada dalil yang dilakukan oleh seorang imam, penguasa, ulama, pengamat, mufti, dan selainnya, apabila telah berijtihad dan berlandaskan kepada dalil, maka bertakwalah kepada Allah semampunya. Karena, inilah yang dibebankan Allah kepadanya. Orang yang menaati Allah, maka baginya pahala, maka bertakwalah semampunya dan Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang berpaham Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Qadariyah.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah: 19/216-217).

Beliau juga berkata, “Adapun para Nabi–semoga Allah meridhai mereka semua—mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, yaitu ma’shum dari dosa. Adapun, orang-orang yang jujur, para syuhada`, dan orang-orang shalih, mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum. Orang yang berijtihad terkadang mendapatkan pahala dan tekadang salah. Apabila mereka berijtihad dan benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala; sedangkan mereka yang berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala atas kesungguhan ijtihadnya, dan kesalahan mereka diampuni. Adapun orang-orang sesat, mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai hal biasa. Bahkan, terkadang mereka berbuat melampaui batas. Mereka mengklaim diri mereka ma’shum. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang beriman dan berilmu tidak ma’shum tapi juga tidak berdosa.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal: 35/69).

6. Saling menghormati.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum, kecuali Nabi saw. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini. Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya.

Hendaknya para ulama dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.

7. Hendaknya tidak disibukkan mencari-cari kesalahan manusia.

Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga kehormatan kaum mukminin. Lalu, bagaimana dengan orang yang hanya disibukkan mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim? Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.

8. Menghormati orang yang lebih tua.

Syariat telah memerintahkan kita untuk bertawadhu’ (rendah hati). Kesalahan mereka tidaklah sama dengan kesalahan selain mereka. Oleh sebab itu, hendaknya selalu dijaga kedudukan mereka. Bila ada kesalahan, perkara mereka berbeda dengan selain mereka.

Sa’id bin al-Musayyib rhm. berkata, “Tidak ada orang terhormat, berilmu, dan orang yang mempunyai keutamaan, kecuali ia pasti mempunyai aib. Akan tetapi, hendaknya orang lain tidak perlu menyebut-nyebut aibnya. Karena, bagi siapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya akan ditutupi dengan keutamaannya.” (Al-Kifayah, hal. 102 dan Jamiu Bayani al-Ilmi wa Fadlihi, hal. 2/821).

Imam Ibnul Qayim rhm. berkata, “Barang siapa yang memiliki ilmu syar’i dan dia mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam, terkenal dengan keshalihan dan akhlak baiknya, apabila ia berijthiad dan salah—karna ia tidak terlepas dari kesalahan—maka dia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya, dan orang lain tidak boleh mengikuti ijtihadnya yang salah, dan tidak boleh kita menjatuhkan nama baiknya di depan kaum muslimin.” (I’lamu al-Muwaqi’in, Ibnul Qayim, hal. 3/282).

9. Menjauhi perselisihan.

Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, peremehan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-lebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya, maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 6/503-504).

Beliau juga berkata, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum, maka hal itu banyak terjadi di kalangan para sahabat. Sebagaimana sahabat Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., keduanya adalah sayyid-nya kaum muslimin. Keduanya berselisih, tetapi keduanya tidak ada maksud apa pun kecuali kebaikan. Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya, ‘Jangan salah seorang di antara kalian shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Akhirnya ketika mereka berada di tengah-tengah perjalanan, waktu shalat ashar pun tiba. Sekelompok dari mereka berkata, ‘Kita tidak akan shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah.’ Sekelompok yang lain berkata, ‘Kami tidak ingin mengakhirkan shalat.’ Sehingga mereka pun shalat ketika berada di perjalanan, dan tidak ada seorang dari dua kelompok tersebut yang saling mencela.” (HR Bukhari dan Muslim), (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/173).

10. Membedakan antara perbedaan pendapat dengan perbedaan hati.

Tidak mengapa terjadinya perbedaan pendapat dan ijtihad. Tetapi, kaum muslimin harus mewaspadai bila terjadi perbedaan hati. Nabi saw. telah mengingatkan para sahabatnya dari hal itu. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, saya telah mendengar seseorang yang membaca sebuah ayat, dan bacaannya berbeda terhadap apa yang telah saya dengar dari bacaan Nabi. Lalu saya datang kepada beliau dan menceritakan kejadian tersebut. Dari wajah beliau terpancar seolah-olah beliau tidak suka dengan kejadian tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua adalah baik, tapi jangan kalian berselisih karena orang-orang terdahulu hancur akibat mereka berselisih.” (HR Bukhari, no. 3217).

11. Perselisihan itu pasti terjadi.

Perselisihan itu pasti terjadi dan sulit untuk dihindarkan. Tetapi, apabila ingin menyatukan barisan, perbedaan pendapat harus diminimilasasi dan berusaha untuk menyatukannya. Kecuali, pada hal-hal yang Islam memang memberi kelonggoran di dalamnya untuk berselisih seperti halnya dalam masalah furu’.

12. Membuka forum dialog disertai dengan akhlak yang baik.

Di antara cara meminimilasasi terjadinya perbedaan pendapat adalah dengan membuka berbagai forum dialog, karena dengannya akan didapati titik temunya. Bila kita amati, membuka forum dialog pun telah diajarkan oleh para salaf. Mereka berselisih dan berbeda pendapat, tetapi kemudian mereka membuka forum dialog dengan cara yang baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka pernah berselisih dalam suatu perkara, tetapi mereka tetap mengikuti perintah Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59). Mereka saling tukar pikiran dalam suatu masalah, bermusyawarah, dan saling menasihati. Terkadang mereka berselisih dalam masalah ilmu ataupun perbuatan, tetapi mereka tetap menjaga hubungan persaudaraan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, hal. 24/172).

13. Berusaha untuk mendamaikan antara dua orang yang berselisih.

Di antara unsur yang tak kalah pentingnya dalam menyatukan barisan umat ini adalah mengadakan perdamaian. Sebelum terjadinya permusuhan di antara sesama kaum muslimin, maka harus didamaikan. Allah telah berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Al-Hujarat: 9).

Nabi saw. juga mengkuatkan pentingnya peranan ini. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bin As-Saaidy r.a., telah sampai kabar kepada Rasulullah bahwa Bani Auf bin Amru berselisih, maka kemudian Rasulullah saw. keluar mendamaikannya. (HR Bukhari [1224] dan Muslim [421]).

Sumber: Diadaptasi dari Wihdatush Shaffi Dharurah Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy (Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36).

Sakaratul Maut

Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).

Datangnya Kematian Menurut Al Qur’an :

1. Kematian bersifat memaksa dan siap menghampiri manusia walaupun kita berusaha menghindarkan resiko-resiko kematian.
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS Ali Imran, 3:154)

2. Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di muka bumi ini.
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? (QS An-Nisa 4:78)

3. Kematian akan mengejar siapapun walaupun ia lari menghindar.
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS al-Jumu’ah, 62:8)

4. Kematian datang secara tiba-tiba.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS, Luqman 31:34)

5. Kematian telah ditentukan waktunya, tidak dapat ditunda atau dipercepat
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun, 63:11)


Dahsyatnya Rasa Sakit Saat Sakaratul Maut

Sabda Rasulullah SAW : “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW : “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)

Atsar (pendapat) para sahabat Rasulullah SAW .
Ka’b al-Ahbar berpendapat : “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa”.

Imam Ghozali berpendapat : “Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki”.

Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang melewati sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat dari pekuburan itu sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan izin Allah melalui suatu cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan. “Wahai manusia !”, kata pria tersebut. “Apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum juga hilang dariku.”

Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Mustafa Kemal Attaturk, bapak modernisasi (sekularisasi) Turki, yang mengganti Turki dari negara bersyariat Islam menjadi negara sekular, dikabarkan mengalami proses sakaratul maut selama 6 bulan (walau tampak dunianya hanya beberapa detik), seperti dilaporkan oleh salah satu keturunannya melalui sebuah mimpi.

Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit sakaratul maut merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak. Demikianlah rencana Allah. Wallahu a’lam bis shawab.


Sakaratul Maut Orang-orang Zhalim

Imam Ghozali mengutip sebuah riwayat yang menceritakan tentang keinginan Ibrahim as untuk melihat wajah Malaikatul Maut ketika mencabut nyawa orang zhalim. Allah SWT pun memperlihatkan gambaran perupaan Malaikatul Maut sebagai seorang pria besar berkulit legam, rambut berdiri, berbau busuk, memiliki dua mata, satu didepan satu dibelakang, mengenakan pakaian serba hitam, sangat menakutkan, dari mulutnya keluar jilatan api, ketika melihatnya Ibrahim as pun pingsan tak sadarkan diri. Setelah sadar Ibrahim as pun berkata bahwa dengan memandang wajah Malaikatul Maut rasanya sudah cukup bagi seorang pelaku kejahatan untuk menerima ganjaran hukuman kejahatannya, padahal hukuman akhirat Allah jauh lebih dahsyat dari itu.

Kisah ini menggambarkan bahwa melihat wajah Malakatul Maut saja sudah menakutkan apalagi ketika sang Malaikat mulai menyentuh tubuh kita, menarik paksa roh dari tubuh kita, kemudian mulai menghentak-hentak tubuh kita agar roh (yang masih cinta dunia dan enggan meninggalkan dunia) lepas dari tubuh kita ibarat melepas akar serabut-serabut baja yang tertanam sangat dalam di tanah yang terbuat dari timah keras.

Itulah wajah Malaikatul Maut yang akan mendatangi kita kelak dan memisahkan roh dari tubuh kita. Itulah wajah yang seandainya kita melihatnya dalam mimpi sekalipun maka kita tidak akan pernah lagi bisa tertawa dan merasakan kegembiraan sepanjang sisa hidup kita.

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS Al-An’am 6:93)
(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat lalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". (Malaikat menjawab): "Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan". Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu. (QS, An-Nahl, 16 : 28-29)

Di akhir sakaratul maut, seorang manusia akan diperlihatkan padanya wajah dua Malaikat Pencatat Amal. Kepada orang zhalim, si malaikat akan berkata, “Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik, engkaulah yang membuat kami terpaksa hadir kami ke tengah-tengah perbuatan kejimu, dan membuat kami hadir menyaksikan perbuatan burukmu, memaksa kami mendengar ucapan-ucapan burukmu. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik ! “ Ketika itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu.

Ketika sakaratul maut hampir selesai, dimana tenaga mereka telah hilang dan roh mulai merayap keluar dari jasad mereka, maka tibalah saatnya Malaikatul Maut mengabarkan padanya rumahnya kelak di akhirat. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tak seorangpun diantara kalian yang akan meninggalkan dunia ini kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan padanya tempatnya di surga atau di neraka”.
Dan inilah ucapan malaikat ketika menunjukkan rumah akhirat seorang zhalim di neraka, “Wahai musuh Allah, itulah rumahmu kelak, bersiaplah engkau merasakan siksa neraka”. Naudzu bila min dzalik!


Sakaratul Maut Orang-orang Yang Bertaqwa

Sebaliknya Imam Ghozali mengatakan bahwa orang beriman akan melihat rupa Malaikatul Maut sebagai pemuda tampan, berpakaian indah dan menyebarkan wangi yang sangat harum.

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Assalamu alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS, An-Nahl, 16 : 30-31-32)

Dan saat terakhir sakaratul mautnya, malaikatpun akan menunjukkan surga yang akan menjadi rumahnya kelak di akhirat, dan berkata padanya, “Bergembiaralah, wahai sahabat Allah, itulah rumahmu kelak, bergembiralah dalam masa-masa menunggumu”.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Semoga kita yang masih hidup dapat selalu dikaruniai hidayah-Nya, berada dalam jalan yang benar, selalu istiqomah dalam keimanan, dan termasuk umat yang dimudahkan-Nya, selama hidup di dunia, di akhir hidup, ketika sakaratul maut, di alam barzakh, di Padang Mahsyar, di jembatan jembatan Sirath-al mustaqim, dan seterusnya.
Amin !

Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin (Arab:الاخوان المسلمون) adalah organisasi Islam Internasional yang berasal dari Mesir. Anggota Ikhwanul Muslimin tersebar di seluruh dunia . Organisasi ini bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dalam menghadapi era globalisasi.

Sejarah

Masa-masa awal

Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.

Perkembangan 1930-1948

Kemudian pada tahun 1934, Ikhwanul Muslimin membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin. Walaupun begitu, pada tahun 1941 gerakan Ikhwanul Muslimin masih beranggotakan 100 orang, hasil seleksi dari Hassan al-Banna. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut serta dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948. Berita penculikan Naqrasyi di media massa tak lama setelah pembekuan Ikhwanul Muslimin membuat semua orang curiga pada gerakan Ikhwanul Muslimin.

Tahun 1950-1970

Secara misterius, pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna meninggal dunia karena dibunuh pada 12 Februari 1949. Kemudian, tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu, parlemen Mesir dipimpin oleh Mustafa an-Nuhas Pasha. Parlemen Mesir menganggap bahwa pembekuan Ikhwanul Muslimin tidak sah dan inkonstitusional. Ikhwanul Muslimin pada tahun 1950 dipimpin oleh Hasan al-Hudhaibi. Kemudian, tanggal 23 Juli 1952, Mesir dibawah pimpinan Muhammad Najib bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin dalam rencana menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Tapi, Ikhwanul Muslimin menolak rencana ini, dikarenakan tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk Republik Mesir yang dikuasai oleh militer sepenuhnya, dan tidak berpihak pada rakyat. Karena hal ini, Jamal Abdul Nasir menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak mandat revolusi. Sejak saat ini, Ikhwanul Muslimin kembali dibenci oleh pemerintah.

Kemudian, pada tahun 1954, terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwanul Muslimin di seluruh Mesir. Ikhwanul Muslimin dituduh telah berupaya memusuhi dan mengancam Gamal Abdel Nasser sebagai pemimpin negara saat itu. Atas hal ini, pemerintah Mesir memberikan hukuman mati kepada enam anggota Ikhwanul Muslimin. Hal ini kembali terulang pada saat tahun 1965, dimana pemerintah Mesir kembali mengadakan penangkapan besar-besaran kepada anggota Ikhwanul Muslimin. Pemerintah Mesir menjatuhkan hukuman gantung kepada Sayyid Quthb, Yusuf Hawasi dan Abdul Fattah Ismail. Sejak tahun 1965, organisasi Ikhwanul Muslimin berjalan dengan rahasia sampai Gamal Abdel Nasser meninggal dunia pada tahun 1970.

Tahun 1970-sekarang

Ketika Anwar Sadat mulai berkuasa, anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara mulai dilepaskan. Menggantikan Hudhaibi yang telah meninggal pada tahun 1973, Umar Tilmisani memimpin organisasi Ikhwanul Muslimin. Umar Tilmisani menempuh jalan moderat dengan tidak bermusuhan dengan penguasa. Rezim Hosni Mubarak saat ini juga menekan Ikhwanul Muslimin, dimana Ikhwanul Muslimin menduduki posisi sebagai oposisi di Parlemen Mesir.

Pemikiran

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaah yang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh, bukan hanya sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual saja. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan da’wah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat.

Kredo

Ikhwanul Muslimin memiliki kredo berupa:

1. Allah tujuan kami
2. Rasulullah teladan kami
3. Al-Qur'an landasan hukum kami
4. Jihad jalan kami
5. Mati syahid cita-cita kami yang tertinggi

Walaupun begitu, Ikhwanul Muslimin tetap mengikuti perkembangan teknologi dan tidak meninggalkannya. Sebagai organisasi Islam moderat, Ikhwanul Muslimin diterima oleh segala lapisan dan pergerakan. Ikhwanul Muslimin menekankan adaptasi Islam terhadap era globalisasi, bukan berarti umat Islam turut terseret dalam era globalisasi. Ikhwanul Muslimin mengadopsi sebagian besar ajaran Da'wah Salafiyyah.

Pimpinan

Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Sekretaris Jenderal. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Berikut ini adalah daftar Mursyid 'Am yang pernah memimpin Ikhwanul Muslimin:

* Hassan al-Banna (حسن البنا)
* Hassan al-Hudhaibi (حسن الهضيبي)
* Umar Tilmisani (عمر التلمساني)
* Muhammad Hamid Abu Nasr (محمد حامد أبو النصر)
* Mustafa Masyhur (مصطفى مشهور)
* Ma'mun al-Hudhaibi (مأمون الهضيبي)
* Muhammad Mahdi 'Akif (محمد المهدى عاكف)

Ikhwanul Muslimin di Indonesia

Ikhwanul Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab sekitar tahun 1930. Pada zaman kemerdekaan, Agus Salim pergi ke Mesir dan mencari dukungan kemerdekaan. Waktu itu, Agus Salim menyempatkan untuk bertemu kepada sejumlah delegasi Indonesia, termasuk Agus Salim.

Ikhwanul Muslimin memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Atas desakan Ikhwanul Muslimin, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, setelah dijajah oleh Belanda. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi Republik Indonesia.

Ikhwanul Muslimin kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir mendirikan partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi.

Partai Masyumi kemudian dibredel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya. Kemudian pada Pemilu tahun 1999 berdiri partai yang menggunakan nama Masyumi, yaitu Partai Masyumi Baru dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPII Masyumi). Selain itu berdiri juga Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK) yang sebelumnya banyak dikenal dengan jamaah atau kelompok Tarbiyah. PBB mendeklarasikan partainya sebagai keluarga besar pendukung Masyumi. Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi, Partai Keadilan (kini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS) merupakan perpanjangan tangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir yang mewadahi komunitas terbaik kalangan muda intelektual yang sadar akan agama, negeri, dunia, dan zamannya . Namun tulisan ulama yang kini bermukim di Qatar itu belum pernah mendapat konfirmasi dari para pengurus DPP PKS]. Jika dilihat dari Piagam Deklarasi PKS dan AD/ART PKS , PKS tidak pernah menyebutkan hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin.

Selain partai-partai di atas, ada juga ormas Islam di Indonesia yang terinspirasi dari Ikhwanul Muslimin ini, paling tidak itu terlihat dari nama ormas tersebut. Ormas yang dimaksud, antara lain adalah Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) yang berafiliasi ke PPP, dan Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI). Parmusi saat ini diketuai oleh Bachtiar Chamsyah. Sedangkan IMI yang dideklarasikan di Depok pada tahun 2001, diketuai oleh Habib Husein Al Habsyi.

Lalu pada Pemilu tahun 2004, Partai Masyumi Baru dan PPII Masyumi tidak dapat mengikuti pemilu lagi karena tidak lolos electoral threshold. Partai Masyumi Baru bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PBB masih dapat terus mengikuti pemilu. Sedangkan PK mengikuti Pemilu 2004 setelah berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Setelah pemilu 2004, PBB terancam tidak dapat mengikuti pemilu 2009 karena tidak lolos electoral threshold. Sedangkan PKS dan PPP masih dapat terus mengikuti pemilu 2009 karena lolos electoral threshold.

Jadi secara umum, Ikhwanul Muslimin cukup banyak memberikan inspirasi pada organisasi-organisasi di Indonesia. Namun tidak jelas mana yang benar-benar berhubungan secara resmi dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Jika diringkas, organisasi di Indonesia yang terinspirasi dari Ikhwanul Muslimin antara lain:

1. Partai Masyumi
2. Partai Masyumi Baru (1998)
3. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (1998)
4. Persaudaraan Muslimin Indonesia
5. Partai Bulan Bintang (1998)
6. Partai Keadilan (1998)
7. Ikhwanul Muslimin Indonesia (2001)
8. Partai Keadilan Sejahtera (2002)